Antakya

Dulu, semua jalanan mengenal suara-suara, dan bahkan angin di gang-gang sempit terdengar istimewa - dengan aksen kehangatan. Sekarang hanya tersisa sedikit: aroma teh dengan mint di teras, kilauan stadion tua tempat “tim kita” selalu menang, dan dentuman speaker yang memutar lagu “Habibi” milik seseorang. Semuanya tampak sama - hanya saja orang-orang lebih sedikit, tawa lebih sedikit, dan bahkan peterseli di pasar pun tidak berasa.

Lagu itu seperti foto lama, di mana orang-orang yang sudah tidak ada lagi tersenyum. Lagu itu bukan hanya nostalgia, tetapi semacam ritual kenangan yang tenang: mengingat nama-nama, mengucapkannya dengan lantang, agar tidak hilang. Di antara baris-barisnya - kota yang menjadi rasa sakit, dan cinta yang menjadi udara. Dan tetap terdengar hangat. Seolah-olah seseorang kembali berjalan di jalan-jalan itu tanpa alas kaki - bukan untuk mengembalikan masa lalu, tetapi untuk mengatakan: “Aku ingat”.